“Gemerciknya, serupa roh yang menghantam ke pelupuk mata. Perih sekaligus menyegarkan, sakit yang melelehkan.“
Setiap orang menuliskanmu, dalam syair-syair
buta meraka. menukikan elegi tentangmu dengan bahasa mereka.
menyelamimu, melalui rasa yang berbeda- beda.
Dan hujanku, adalah tentang hujan di bulan
Desember. Hujan dengan gemercik menyegarkan. Hujan yang tidak hanya
membasahi pekarangan dan motormu, tapi hujan yang juga membasahi bajuku.
Hujanku memenjarakan apapun hingga terjebak dalam situasi yang sulit.
Hujanku selalu tidak tepat waktu, menahanku untuk tidak pergi kemanapun.
Berkali-kali ingin pergi, tapi dia memaksaku untuk tinggal sedikit
lebih lama lagi. Hujanku egois.
Hujanku begitu egois, dalam dinginnya dia
membasahi ruangan yang sudah kukunci dengan rapat-tidak seorangpun bisa
menembusnya-. Tapi entah bagaimana caranya, ruangan itu kini penuh
dengan tetesannya, mengering sebentar basah kemudian. Dan semakin
dingin, Desember yang kala itu segar berubah menjadi Desember yang
menggigil.
Ketika itu, dalam hujanku, kurebus mi instan
kesukaanmu. Kukira hangatnya akan sedikit menenangkan, tapi ternyata
aku salah. Tidak akan lagi kupadukan hujanku, Desember kita dengan mi
kesukaanmu.
Dan sekarang, hujan turun dan bukan lagi di Bulan Desember. Tetesannya menertawaiku.
“Tidak bisakah kita kembali sebentar ke bulan Desember? ada sesuatu yang kutinggalkan disana.”